Kamis, 25 Februari 2010

Teknik Pengumpulan data bukan survei

Teknik observasi
Metode observasi terutama digunakan untuk mengumpulkan data tentang prilaku nonverbal. Meskipun metode observasi pada umumnya menggunakan teknik penglihatan, namun bisa juga indera yang lain bisa digunakan, misalnya melalui pendengaran, sentuhan, atau bahkan penciuman. Metode pengumpulan data dengan observasi tidak menghalangi teknik pengumpulan data yang lain, bahkan sering dipadukannya secara simultan. Misalnya, disamping digunakan observasi, juga sering dilengkapi dengan wawancara, studi kepustakaan, atau bahkan eksperimental. Observasi lebih disukai dilakukan jika peneliti ingin mengetahui perilaku masyarakat secara detil, termasuk perilaku nonverbal. Suasana alamiah dari lingkungan masyarakat tertentu, akan tampak tergambarkan dengan melalui observasi atau pengamatan langsung oleh peneliti. Bagaimana pola kehidupan formal mereka dalam kesehariannya, juga perilaku-perilaku khas lingkungan tersebut pada waktu yang berbeda. Semuanya bisa direkam melalui observasi.
Keunggulan observasi
Ada beberapa keunggulan observasi jika dilakukan untuk mengumpulkan data dalam penelitian, antara lain adalah sebagai berikut: (a)



Perilaku nonverbal: Observasi dianggap unggul dalam penelitian survey, eksperimen, atau studi dokumen, terutama dalam hal pengumpulan data khusus mengenai perilaku nonverbal. Metode survey memang lebih unggul terutama dalam hal kemampuannya mengamati pendapat orang akan suatu masalah. Hubungan sosial antar anggota masyarakat di suatu tempat bisa diamati dengan observasi. Sementara itu, dengan kuesioner, peneliti sangat terbatas mendapatkan informasi mengenai kasus-kasus yang sifatnya personal, karena peneliti hanya menanyakan sepintas saja dan biasanya hanya sekali. Sedangkan pada observasi, bisa dilakukan secara lebih lama dan mendalam. Perbandingan lain, pada survey wawancara, hubungan antara peneliti dengan responden bersifat sementara, sedangkan pada observasi bisa lebih lama, lebih leluasa, bahkan dalam hal-hal tertentu peneliti bisa terjun langsung ke tengah-tengah masyarakat. (b)

Lingkungan alami: Salah satu keunggulan lain dari observasi adalah bahwa perilaku yang terjadi di masyarakat itu benar-benar bersifat alami, tidak artifisial dan hasil rekayasa tertentu. Hal ini berbeda dengan misalnya eksperimen, yang kondisinya sudah direkayasa sedemikian rupa sehingga mudah pengontrolannya. Juga demikian halnya dengan kuesioner, yang hanya mengandalkan jawaban-jawaban sepintas dari responden. Dan yang terakhir ini sangat bergantung kepada kualitas pertanyaannya. Jika pertanyaan dipersiapkan dengan seksama, tentu akan menghasilkan jawaban dan data yang lebih lengkap. Jika pertanyaan tidak disersiapkan dengan sunggug-sungguh, akan menghasilkan data yang tidak akurat dan juga bias yang sangat tinggi. (c)

Analisis longitudinal: Dalam observasi, peneliti bisa lebih leluasa dan lebih lama dalam mengamati kondisi masyarakat secara langsung. Hal ini tidak bisa dilakukan oleh pewawancara, survey, atau penelitian eksperimen. Dengan demikian, untuk mengetahui perilaku masyarakat terutama yang nonverbal, hasilnya akan lebih baik karena sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat secara sebenarnya. Sementara itu dalam survey, jawaban-jawaban responden sangat bergantung kepada pertanyaan juga kepada sifat dan kondisi responden itu sendiri dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh pewawancara, yang sangat dipengaruhi oleh ingatan responden terutama dalam menjawab hal yang berkaitan dengan data angka atau data dan peristiwa yang sudah lewat. Sementara itu pada observasi tidak demikian, sebab yang diteliti adalah segala peristiwa yang sedang berlangsung pada saat peneliti melakukan observasi. Sementara itu observasi juga memiliki beberapa kelemahan, antara lain adalah adalah sebagai berikut: (a)

Kurang terkendali (lack of control): Variabel-variabel asing (variabel lain yang secara sengaja tidak dijadikan target penelitian, atau bisa juga berupa variabel tersembunyi yang hanya masyarakat tersebut yang ‘boleh’ tahu) hanya sedikit saja yang bisa diketahui oleh peneliti. Padahal barangkali variabel-variabel tersebut lah yang mungkin lebih banyak pengaruhnya terhadap data yang sedang diteliti. (b)

Sulit dikuantifikasikan: Pengukuran pada studi observasi biasanya hanya didasarkan kepada persepsi kualitatif peneliti dan bukannya didasarkan kepada kuantitas seperti yang dilakukan peneliti pada studi eksperimen dan survey. Peneliti lebih cenderung hanya merekam apa-apa yang sedang terjadi di masyarakat sesuai dengan persepsinya, dan bukannya memberi nilai sejauh mana masalah yang sedang ditelitinya itu berpengaruh, atau ada hubungannya, atau berperan terhadap variabel lain yang juga diteliti. Jadi kelemahannya adalah tidak bisa menentukan ukuran kuantitas terhadap hubungan antar variabel yang ada. Pengobservasi lebih suka menganggap adanya hubungan tertentu antar orang dan aspek-aspek lainnya di masyarakat, secara subjektif. Misalnya: Tampaknya dia sangat membenci kegiatan arisan, karena selalu menolak diajak arisan bersama oleh tetangganya; dan bukannya, peneliti memberi skor berata jauh atau sejauh mana tingkat kebencian orang tersebut terhadap kegiatan arisan dimaksud. Itu contoh kecil yang sering terjadi di lapangan. (c)

Ukuran sampel kecil: Biasanya studi observasi menggunakan ukuran sampel yang lebih kecil dibandingkan dengan pada studi survey, meskipun masih termasuk lebih besar jika dibandingkan dengan ukuran sampel pada studi eksperimen dan kasus. Idelnya, studi observasi perlu menggunakan sebanyak-banyaknya subjek penelitian yang akan diobservasi, juga perlu banyak peneliti yang melakukannya, terutama hal ini dengan maksud untuk menghilangkan faktor subjektifitas peneliti. Jika menggunakan banyak subjek dan juga banyak pengamat, maka data hasil observasi bisa saling diperbandingkan, sehingga dari sana bisa dicek reliabilitasnya. Ini terutama sekali terjadi pada observasi yang tidak terstruktur, artinya observasi yang tidak dirancang sedemikian rupa sehingga variabel penelitian yang diobservasinya menjadi tidak tegas.
d)

Cara mendapatkan data: Karena studi observasi bertujuan untuk mengungkapkan kondisi lingkungan alamiah alamiah pada peristiwa sosial, termasuk pada lembaga-lembaga sosial tertentu yang berada di lingkungan masyarakat, maka ada hal yang sulit diperoleh datanya, terutama pada hal-hal yang sifatnya rahasia. Dalam suatu organisasi perusahaan, misalnya, peneliti mungkin malahan dicurigai oleh orang-orang tertentu di perusahaan tersebut jika terlalu jauh ingin mengetahui keberadaan data yang ‘rahasia’ tadi, karena bisa-bisa disangka sebagai mata-mata musuh yang sengaja dikirim untuk menghancurkan kredibilitas perusahaan. Dengan demikian, data yang sebanarnya tidak bisa diungkap secara utuh, karena peneliti hanya mengandalkan hasil pengamatan dari luar saja. Kecuali kalau peneliti terjun langsung menjadi bagian dari perusahaan dimaksud dan larut dalam setiap kebersamaannya. Dan jika yang terakhir ini dilakukan, biasanya akan memakan waktu yang lebih lama sampai peneliti yang bersangkutan bisa diterima kehadirannya di lingkungan mereka. Tentu saja jika ini terjadi, akan memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. (e)

Kurang anonimitas: Dibandingkan dengan studi survey, maka observasi sedikit kurang reliabel, terutama dalam hal mencari data yang berkaitan dengan masalah yang sensitif. Sebab dalam observasi, subjek-subjek penelitian bisa terlihat jelas dan tentu saja dapat dikenali secara langsung oleh peneliti. Dalam hal mencari data yang berkaitan dengan masalah yang peka seperti itu maka pencarian data melalui kuesioner yang dikirim melalui pos tampaknya lebih reliabel dibandingkan dengan observasi.
Bentuk-bentuk observasi
Pada studi eksperimen, pada umumnya manipulasi variabelnya dilakukan di laboratorium-laboratorium dengan lingkungan buatan atau artifisial. Sedangkan pada survey kuesioner, secara khusus pertanyaan-pertanyaan disusun secara sistematis dan tertentu, yang biasanya mengikuti aturan standar, sehingga datanya bisa dikuantifikasikan. Dan sementara itu pada observasi, biasanya langsung dilaksanakan pada lingkungan aalamiah secara apa adanya. Peneliti tidak pernah memanipulasi kondisi medang sebelumnya. Kerangka kerja pada observasi pun biasanya tidak sebanyak atau selengkap seperti pada penyusunan kuesioner dalam penelitian survey. Di sini ada dua bentuk struktur observasi, yakni: (a)

Struktur lingkungan, yang meliputi dua jenis, yaitu lingkungan alamiah dan lingkungan artifisial atau lingkungan laboratorium. (b)

Struktur pada lingkungan observasi, yang meliputi bentuk struktur yang bisa dihtitung atau dikuantifikasikan, yang tampak dari luar, misalnya frekuensi perilaku responden, dan struktur yang tidak bisa dikuantifikasikan (dihitung), di mana peneliti tidak mencari perilaku tertentu dan mencatat peristiwa yang terjadi. Dua variabel tersebut di atas bisa digunakan untuk membangun empat sel tipologi bentuk observasi. Perhatikan gambar bentuk-bentuk observasi berikut: Tingkat struktur lingkungan Tingkat struktur lingkungan observasi Yang ditetapkan peneliti Lingkungan alami Laboratorium artifisial 3
Bentuk: Tidak berstruktur Analisis laboratorium 2
Bentuk: lengkap Studi lapangan tidak berstruktur
Tak berstruktur
Bentuk: lengkap Observasi laboratorium berstruktur 4
Bentuk: Studi lapangan berstruktur 3
Berstruktur GambarL Tipe-tipe studi observasi Tampak di sini sulit dibedakan garis pemisah antara lingkungan alamiah dengan lingkungan laboratorium sosial di masyarakat. Sebab lingkungan pada masyarakat memang sulit dan sering tidak bisa dikendalikan oleh peneliti. Observasi bisa dilakukan secara terbuka dan langsung, di mana responden mengetahui bahwa mereka sedang diobservasi, atau bisa juga secara tersamar (covert), di mana responden tidak menyadari bahwa mereka sedang diobservasi. Untuk kasus yang pertama, bisa menimbulkan reaksi pada responden, misalnya menolak, atau melakukan perilaku yang dibuat-buat sehingga tampak diatur perilakunya, hanya yang bagus-bagus saja yang ditampakkan. Dan jika yang terakhir ini yang terjadi maka tentu saja hasil penelitiannya menjadi bias. Sementara itu, dalam lingkungan alamiah, peneliti akan menemui kesulitan jika melakukan observasi secara tersamar, karena ia tidak mungkin bisa
larut
secara langsung di masyarakat. Sebagian besar studi pada lingkungan alamiah di lapangan adalah studi observasi partisipan yang tidak berstruktur (studi lapangan) seperti tampak pada sel 1 gambar di atas. Sedangkan studi berstruktur pada lingkungan alami pada umumnya cenderung merupakan studi nonpartisipan (sel 3 gambar di atas), meskipun lebih jarang dilakukan pada studi lapangan.
Langkah-langkah dalam observasi
Terdapat beberapa langkah dalam observasi, yakni antara lain sebagai berikut: (1)

Tetapkan tujuan-tujuan studi (penelitian) (2)

Tentukan kelompok subjek yang akan diobservasi (3)

Tetapkan cara memasuki kelompok (gaining entry), atau misalnya dalam kasus observasi laboratorium, menyusun subjek-subjek ke dalam laboratorium. (4)

Dapatkan atau buat laporan tentang subjek yang diobservasi (5)

Adakan studi dengan cara mengamati dan melaporkan catatan-catatan lapangan dengan menetapkan waktu secukupnya, misalnya beberapa minggu, bulan, bahkan mungkin saja tahun. (6)

Hadapi krisis yang mungkin terjadi, misalnya konfrontasi dengan responden, di mana peneliti dianggap mata-mata dari musuh yang selalu dicurigai. (7)

Keluar dari lapangan observasi (8)

Lakukan analisis dari data yang terkumpul
(9)

Tulis draf laporan kasar dalam bentuk sajian data dengan cara mengklasifikasi, merduksi, dan memilih data yang ada kaitannya satu sama lain untuk dianalisis (10)

Susun laporan laporan lengkap dari hasil analisis data sebagai penemuan penelitian secara utuh
Studi lapangan (field study)
Studi-studi yang tergolong ke dalam studi lapangan merupakan studi yang paling sedikit berstruktur dibandingkan dengan keempat studi observasi yang telah digambarkan dalam bentuk-bentuk studi observasi di atas. Terjadi pada lingkungan alami, sebagian besar menggunakan observasi partisipan, dan sangat sedikit struktur yang diadakan terhadap lingkungan alamiah itu oleh peneliti. Artinya peneliti tidak melakukan perubahan-perubahan atau rekayasa tertentu terhadap lingkungan alamiah dimaksud. Dalam keadaan seperti ini, peneliti menjadi bagian dari subkultur masyarakat yang ditelitinya. Field study atau kita terjemahkan dengan studi lapangan (meskipun tidak sama precis seperti studi lapangan yang kita kenal selama ini dengan sebutan study tour), sering diartikan sama dengan
ethnographic study
atau
ethnography.
Etnografi adalah kegiatan menjelaskan suatu kebudayaan tertentu, dan merupakan metode yang dibanggakan oleh para ahli antropologi budaya yang berminat mempelajari budaya primitif secara relatif, seperti yang dilakukan oleh Margaret:
Coming in Age in Samoa
. Ada beberapa hal dalam yang perlu dilakukan peneliti pada studi lapangan supaya hasil penelitiannya optimal, yakni sebagai berikut: (a)

Cara memasuki lapangan: Seperti sudah dicatat dalam langkah-langkah observasi di muka, maka pada langkah pertama adalah menetapkan tujuan studi, yang kurang lebih sama untuk semua jenis studi lapangan: yaitu, pertama, memahami dan menjelaskan budaya tertentu sejelas dan selengkap mungkin, meskipun peneliti bisa melakukan hanya pada bidang-bidang tertentu yang diminatinya secara khusus. Langkah kedua adalah, menentukan kelompok mana yang akan diteliti, dan ini murni menjadi keputusan peneliti untuk memilihnya. Langkah ketiga dan keempat (memasuki kelompok yang akan diteliti dan mendapati laporan tentang orang yang akan diamati) memerlukan diskusi yang teliti, baik dengan sesama tim peneliti maupun dengan unsur birokrat. Misalnya ada beberapa pimpinan lembaga sosial di masyarakat yang terbuka dan yang tertutup untuk diteliti. Dalam hal seperti ini, peneliti harus pandai-pandai mengambil hati responden dengan cara menjelaskan atau meyakinkan mereka bahwa penelitian ini semata-mata hanya untuk kepentingan ilmu, bukan untuk kepentingan lain seperti komersial, apalagi untuk kepentingan mencari kesalahan orang lain. (b)

Cara membuat laporan: Langkah keempat adalah untuk mendapatkan laporan yang sesungguhnya dari kondisi masyarakat yang ditelitinya. Ini merupakan tahap yang paling sulit dilakukan, sebab biasanya peneliti banyak mendapatkan hambatan, misalnya bahasanya tidak dipahami, adat dan kebiasaannya berbeda dengan peneliti. (c)

Cara melakukan pengamatan dan pencatatan: Sewaktu hubungan sudah diperoleh, maka langkah selanjutnya (kelima) adalah mengambil dan mencatat data. Banyak ahli menyarankan bahwa aturan
jempol
bisa dilakukan. Jangan mencatat secara mencolok mata (
don’t jot conspicuously
) ketika sedang mengambil data dari lapangan, meskipun responden tahu bahwa mereka sedang diteliti. Hal ini bisa dipahami, karena biasanya orang yang merasa sedang diteliti umumnya akan melakukan perilaku yang terbaik. Sedangkan jika mereka tidak tahu bahwa mereka sedang diteliti, maka perilakunya akan biasa-biasa saja atau berprilaku sewajarnya. Lofland, 1971 dalam bailey 1987, memberi saran untuk para pekerja studi lapangan sebagai berikut: (1)

Catat dan rekam secepat mungkin setelah mengamati suatu peristiwa, sebab jika tidak, informasi yang penting bisa terlupakan setelah tertunda tak dicatat. (2)

Tetap mencatat data atau peristiwa dengan segera meskipun data atau peristiwa yang dihadapinya tidak secara tegas berkaitan dengan penelitian. Namun di saat lain, barangkali informasi seperti itu sangat berguna bagi penelitian. (3)

Dikte bisa dilakukan jika memungkinkan. Catat dan diktekan sekali lagi oleh diri sendiri hal-hal yang berkaitan dengan observasi. (4)

Pengetikan catatan lapangan lebih menguntungkan dibandingkan dengan tulisan tangan. Selain itu pengetikan lebih mudah penggandaannya, apalagi jika mengetiknya menggunakan komputer note book. (5)

Disarankan, sedikitnya untuk membuat dua kopi catatan lapangan, dan akan lebih baik jika ada masternya sehingga bisa dikopi lebih banyak jika diperlukan. Rekaman aslinya diarsipkan, dan rekaman kopinya dipersiapkan untuk diedit seperlunya. Catatan lapangan sebaiknya berisi sejumlah data harian mengenai apa saja peristiwa yang telah berlangsung pada hari itu. Hal-hal yang perlu dicatat antara lain adalah: apa yang terjadi, kapan terjadinya, kepada siapa ia terjadi, apa yang diucapkannya, siapa yang mengucapkannya dan kepada siapa mengucapkannya, serta perubahan-perubahan apa saja yang terjadi di sekitar lingkungannya. Ada lima komponen menurut Lofland dalam mencatat data lapangan, yakni: (1)

Deskripsikan hal-hal atau peristiwa yang sedang berlangsung (2)

Deskripsikan dan catat peristiwa yang telah berlangsung, namun lupa, dan begitu ingat, catat kembali (3)

Analisis ide-ide dan inferensi (4)

Catat kesan-kesan dan perasaan perorangan (5)

Buat catatan untuk informasi lebih lanjut. (b)

Menghadapi krisis: Memang jarang sekali terjadi perselisihan antara pengamat dengan responden, asal seluruh persiapan sesuai dengan prosedur, misalnya perijinan dan cara pendekatan kepada masyarakat yang akan diobservasi, dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Wax pada tahun 1971 (dalam bailey, 1987) mengusulkan tiga strategi dalam menghadapi permasalahan yang mungkin terjadi dengan responden, yakni: (1)

Perlu berpenampilan sederhana dan menampakkan dirinya sebagai seorang yang ramah dan tidak terkesan sangar sehingga masyarakat setempat tidak menganggapnya sebagai mata-mata musuh. Seorang perempuan muda yang berpenampilan menarik dan supel cenderung lebih diterima dibandingkan dengan laki-laki tegap dan bermuka keras. (2)

Ini merupakan kebalikan dari strategi pertama, yakni harus berpenampilan gagah dan menunjukkan kekuatannya supaya responden tidak berani menolak untuk diobservasi. (3)

Strategi yang ketiga ini adalah memasuki lingkungan observasi dengan bergabung dengan organisasi tingkat atas supaya bisa langsung dikenal dan diterima oleh segenap anggota masyarakat yang ada di bawahnya. (c)

Analisis data: Tahap ini memang tidak seberat tahap pengumpulan data di atas, karena antara lain tidak terlalu banyak menggunakan biaya dan tenaga. Memulai menganalisis data dengan cara memilah-milah data, misalnya tetapkan data yang berskala nominal, ordinal, interval, atau ratio. Namun untuk data hasil observasi, ada baiknya dikategorikan ke dalam data nominal saja, sebab kekuatannya hanya sebatas hasil pengamatan luar saja, yakni hanya apa saja yang tampak dan terlihat jelas dari luar.
Observasi berstruktur lengkap
Observasi berstruktur yang lengkap hanya bisa terjadi pada lingkungan laboratorium, bukan pada lingkungan sosial yang sebenarnya. Pada gambar tipologi bentuk observasi yang lalu, tampak sebagai kebalikan seperti pada sel 1 dan sel 4. Hal ini bisa menggunakan ceklis instrumen, dan bukannya kuesioner. Misalnya, dalam mengadakan suatu percobaan untuk sekelompok orang yang akan dilihat pola interaksinya, Bales pada tahun 1952 (dalam Bailey, 1987) menggambarkannya dalam sistem kategori untuk tujuan perekaman interaksi kelompok. Pada halaman berikutnya adalah gambar yang menunjukkan hal seperti itu, yakni sistem kategori untuk perekaman interaksi kelompok dari Bales. Keterangan gambar: Subklasifikasi sistem permasalahan untuk pasangan yang paling relevan: a = masalah orientasi b = masalah evaluasi c = masalah pengendalian d = masalah keputusan e = masalah pengelolaan tegangan (tensi) f = masalah integrasi
Observasi tidak langsung
Salah satu keuntungan dari observasi tidak langsung adalah secara langsung peneliti menyaksikan peristiwa yang sedang terjadi tanpa harus mengandalkan pada perilaku sekunder seperti pada penelitian survey. Kasus-kasus tertentu seperti hajatan, kasus meninggal dunianya salah seorang anggota keluarga, dan kasus-kasus lain yang kebetulan terjadi saat peneliti melakukan observasi, itu semua tidak bisa diobservasi secara langsung. Juga kasus orang-orang terkenal di tempat itu yang tidak mau diganggu privasinya, hanya bisa diobservasi secara tidak langsung. Observasi tidak langsung terdiri atas pengamatan terhadap jejak-jejak fisik atau petunjuk fisik dari peristiwa yang telah terjadi. Hal ini sering digunakan oleh para polisi dalam mencari jejak kriminal, atau oleh wartawan yang sedang menelusuri jejak peristiwa untuk bahan berita. Semua data yang diperlukan dikumpulkan melalui observasi atau pencarian data tidak langsung, misalnya melalui saksi-saksi, melalui informasi dari orang-orang dekatnya, dari orang-orang yang diperkirakan ada kaitannya dengan peristiwa tersebut, dsb.
Validitas dan reliabilitas observasi
Ini menyangkut validitas untuk observasi baik observasi langsung ataupun observasi tidak langsung, sebab banyak faktor yang mempengaruhi keduanya. Juga untuk reliabilitasnya, yang juga banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor. (a)

Validitas dan observasi langsung: meliputi kurang anonimitas, realitas sosial sebagai suatu konstruk, kurang terstruktur dalam instrumen observasi, dan kemampuan organ indera. (1)

Kurang anonimitas: Pada survey kuesioner, masih dimungkinkan pengambilan data yang sifatya sensitif karena nama responden bisa dirahasiakan, namun pada observasi, data yang sifatnya sensitif, tidak dapat diungkap secara utuh, sebab jarang sekali orang yang mau diamati secara keseluruhan, terutama kalau sudah menyangkut masalah yang sensitif. (2)

Realitas sosial sebagai suatu konstruk: Realitas sosial bisa merupakan suatu fenomena mental dari konstruk sosial yang sebenarnya/nyata, sementara itu observasi langsung biasanya hanya memuat sebagian dari konstruk sosial yang sebenarnya menurut pandangan dan persepsi peneliti. Dengan demikian, hal ini bisa berbeda dengan kondisi sosial yang sebenarnya. (3)

Kurang berstruktur dalam instrumen observasi: Ini masih ada kaitannya dengan masalah di atas. Orang terbiasa dengan mudah menganggap bahwa peristiwa yang dilihatnya sebagai suatu peristiwa yang utuh, padahal dibalik itu masih banyak faktor lain yang juga turut menentukan. Dengan begitu hal ini bisa menimbulkan bias. (4)

Kemampuan organ indera: Orang sering merasa cukup dengan kemampuan inderanya dalam mengamati suatu peristiwa, padahal sering gagal dalam menangkap apa yang sebenarnya terjadi (fakta sosial tidak sama dengan realita sosial atau fenomena sosial). Tidak seorang pun tahu apa dan baimana kemauan dan kegiatan manusia.
b)

Mengukur validitas: Ini agak sulit dilakukan, terutama pada observasi yang tidak terstruktur, meskipun masih bisa. Kita masih ingat bahwa observasi masih termasuk paling unggul jika digunakan untuk mengamati perilaku nonverbal. Cara mengukur validitas observasi bisa dengan cara membandingkannya dengan metode lain terhadap data atau peristiwa yang sama. Jika hasilnya tidak jauh berbeda, atau lebih-lebih sama, maka metode observasi dikatakan valid. (c)

Reliabilitas: Apakah metode observasi cukup reliabel digunakan untuk mencari data atau peristiwa sosial tertentu?. Jawabnya adalah, ulangi metode yang sama untuk meneliti peristiwa sosial yang sama, namun kali ini dilakukan oleh orang lain, atau bisa juga oleh dirinya sendiri. Jika hasilnya menunjukkan tidak berbeda, maka itu disebut reliabel. Artinya konsisten alat ukurnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar