Jumat, 26 Februari 2010

Motor Learning

Menstabilkan kemampuan-kemampuan dan keterampilan motorik bukanlah suatu pekerjaan yang gampang. Apalagi hal ini berkaitan dengan upaya peningkatan dan pengembangan kedalam suatu bentuk prestasi. Prestasi itu merupakan suatu yang sangat kompleks dan sensitif. Dikatakan komplek karena prestasi membutuhkan banyak pertimbangan dan kemampuan analisis yang tinggi, baik terhadap aspek-aspek yang mempengaruhi secara positif, apalagi terhadap hal-hal yang negatif. Untuk dapat membantu guru pendidikan jasmani dalam menyusun stategi pembelajaran dan mengendalikan proses pembelajaran secara optimal, maka diperlukan pengetahuan dan pengalaman atau pemahaman tentang ciri-ciri fase belajar motorik tingkat tiga.



Ciri-ciri Umum Fase Belajar Motorik Tingkat Tiga
Tugas seorang guru pendidikan jasmani pada fase belajar tingkat ketiga ini tidak dapat dikatan ringan bila dibandingkan dengan fase belajar tingkat pertama atau kedua, hal ini perlu dipahami,karena pada semua tingfkat belajar, guru pendidikan jasmani mempunyai tugas dan tujuan yang berbeda-beda.
Fase belajar tingkat pertama, guru mempunyai tugas yang berat, yaitu untuk memperkenalkan kepada peserta didik sesuatu yang baru dan berusaha untuk mengendalikan proses pembelajaran, sehingga peserta didik dapat menguasai hal-hal yang baru dan batas-batas tertentu.
Fase tingkat kedua, guru memiliki tugas untuk menambah dan memperhalus keterampilan peserta didik. Fase ini merupakan fase perentara atau transisi yang menentukan prestasi tinggi seseorang.
Fase belajar motorik tingkat tiga, guru mempunyai tugas untuk menstabilkan kemampuan-kemampuan motorik yang dikuasai serta mengembangkan berbagai situasi yang bervariasi.
Gerakan-gerakan yang dituntut untuk mengerjakan suatu tugas dapat dilakukan tampa merasa ada keraguan. Suatu hal yang perlu mendapat perhatian dari guru pendidikan jasmani adalah bahwa perbedaan kemampuan prestasi dalam pelaksanaan suatu gerakan yang nyata. Kemampuan prestasi tersebut kelihatan hampir sama, bila pelaksanaan gerakan dilakukan pada situasi dan kondisi yang tidak berubah-rubah.
Berdasarkan dari uraian di atas, dapat diperoleh suatu defenisi perbedaan kemampuan prestasi seseorang yang berada pada fase belajar pada tingkat tiga adalah kemampuan yang cukup tinggi dalam mentransper keterampilan motorik yang telah dikuasai ke dalam berbagai kondisi dan situasi. Kemampuan seseorang yang berada pada belajar tingkat tiga dalam mengambil atau merubah keputusan dalam waktu yang cukup cepat seta mempunyai kemampuan yang cukup tinggi untuk mentransfer keterampilan yang telah dikuasainya merupakan hasil perbaikan yang didapatnya melalui peningkatan dalam berbagi aspek, antara lain:
- Perbaikan dalam mengantisipasi suatu situasi dan kondisi
- Perbaikan peran analisator kinestetik, sehingga ia mampu mengendalikan dan mengatur implus-implus tenaga pada otot-otot yang bekerja sesuai dengan kebutuhan
- Perbaikan fungsi dan peran indera penerima impormasi
- Perbaikan-perbaikan dalam pengolahan impormasi yang diterima, perbaikan tersebut dapat dilihat dari semakin tepatnya keputusan-keputusan yang diambil. Hal ini dapat diamati pada ketepatan dan kemantapan penampilan gerak.

Kemampuan dalam mengambil dan merubah keputusanyang tepat dalam waktu yang singkat untuk menghadapi berbagai situasi oleh individu yang berbeda pada fase belajar tingkat ketiga merupakan hasil dari pengalaman-pengalaman motorik yang berhasil dikumpulkan dan disimpan dalam ingatan motorik pada pusat simpanan motorik. Pengalaman motorik yang tersimpan semakin membantu sipelaku gerakan untuk mengambil keputusan dalam waktu yang cepat, upaya menghadapi situasi dan kondisi tertentu.

Ciri-ciri Khusus Fase Belajar Motorik Tingkat Tiga
1.Terbentuknya Kemampuan Automatisasi
Kemampuan automatisasi ini merupakan tingkat kemampuan yang tinggi dalam penguasaan keterampilan motorik olahraga. Terbentuknya kemampuan automatisasi ini hanya mungkin, bila individu yang bersangkutan benar-benar telah menjiwai dan memiliki bermacam-macam bentuk gerakan dalam suatu cabang olahraga tertentu.
Kemampuan automatisasi ini erat hubungannya dengan program gerakan. Program gerakan yang telah tersimpan sebagai ingatan motorik, maka individu yang bersangkutan hanya tinggal merealisasikannya, sebagai contoh kongkrit misalnya gerakan kaki dan ayunan tangan pada saat berjalan.
Keadaan demikian menyebabkan gerakan-gerakan tersebut dimiliki secara mendasar oleh seseorang. Bila suatu saat dibutuhkan, maka program gerakan tersebut siap untuk direalisasikan ke dalam bentuk nyata yaitu gerakan.

2.Bayangan dan Konstuksi Bayangan Gerakan
Kecepatan dalam memilikidan mengkonstruksi bentuk-bentuk gerakan baru akibatnya dari perubahan situasi secara tiba-tiba atau kecepatan dalam pengaturan dan pengendalian kembali penyimpangan-penyimpangan gerakan. Perbaikan dalam aspek ini tdak hanya terlihat dari kecepatan mengkonstruksi program gerakan, tetapi juga berhubungan dengan ketepatan dari gerakan-gerakan yang dikonstruksi tersebut.
Dalam hal ini dapat kita amati didalam permainan bola basket. Seorang pemain telah membuat program gerakan untuk melakukan shooting, tetapi dengan tiba-tiba dihalangi oleh pemain lawan, pemain yang akan melakukan shooting tersebut dengan cepat dapat merobah program menjadi gerakan lain, seperti mengoper bola pada salah satu teman. Untuk pelaksanaan suatu gerakan adalah menyertai aspek-aspek yang berhubungan dengan program gerakan.
Misalnya dalam melaksanakan lompat jauh, seseorang akan melaksanakan gerakan
- Gerakan awalan
- Gerakan menolak
- Gerakan melayang
- Gerakan mendarat

3.Irama Gerakan
Berkaitan dengan irama gerakan, maka bentuk kerja yang diperlihatkan dalam pelaksanaan gerakan pada fase tingkat ketiga, ini terlihat semakin mulus dan lancar, sehinga gerakan-gerajan yang dilakukan cukup efesien dan efektif baik dalam hal pemakaian ruangan, maupun waktu dan tenaga. Ini merupakan hasil dari faktor peningkatan: perbaikan kemampuan antisipasi gerakan, peningkatan kualitas peran dan fungsi analisator kinestik, sehingga memungkinkan pemberian implus tenaga kepada otot-otot yang bekerja sesuai dengan kebutuhan.

4.Kecepatan Gerakan
Individu yang berada pada fase belajar tingkat ketiga mampu melakukan gerakan-gerakan yang dituntut dengan cepat. Bahkan situasi dan kondisi memaksa, dia mampu melakukan perubahan-perubahan bentuk gerakan dengan cepat. Suatu keistimewaan khusus yang dimiliki oleh individu yang berada pada fase belajar tingkat ke tiga adalah kemampuannya untuk memanipulasi bentu-bentuk gerakan.
Bentuk gerakan yang pertama adalah program yang sebenarnya yakni bentuk-bentuk gerakan atau bentuk-bentuk aksimotorik yang akan dilakukan untuk pencegahan tugas gerakan atau untuk meraih hasil yang dicapai. Sedangkan bentuk gerakan yang kedua adalah bentuk gerakan yang akan menunjang atau memperlancar program gerakan yang sesungguhnya (bentuk tipuan).

C. Ciri-ciri Kemampuan Penerimaan dan Pengolahan Impormasi Fase Belajar Tingkat Tiga.
Ciri-ciri khusus kemampuan penerimaan dan pengolahan imformasi individu yang berada pada fase belajar tingkat tiga adalah semakin meningkatnya fungsi dan peran analisator informasi kinestik. Dengan pengertian lain terjadinya peningkatan kepekaan analisator kinestik dalam penerimaan informasi.
Dengan demikian semakin meningkatnya kualitas kepekaan analisator kinestik berarti individu yang berada pada fase belajar tingkat ke tiga akan banyak menerima feet-back tentang jalannya gerakan dari analisator kinestik. Dengan pengertian lain bahwa individu yang bersangkutan akn banyak menerima umpan balik.

D.Ciri-ciri Fase Belajar Motorik Tingkat Tiga dan Implikasinya Kedalam Proses Pembelajaran.
Fase ini untuk menstabilkan kemampuan kordinasi halus yang telah dikuasai. Proses pembelajaran diarahkan untuk pembentukan kemampuan transper dari keterampilan-keterampilan motorik yang telah dikuasai tersebut pada berbagai situasi dan kondisi. Oleh karena itu, haruslah menjadi perhatian guru pendidikan jasmani akan memberikan latihan-latihan yang sesiai dengan karakter-karakter kemampuan yang di milki setiap individu.
Penyesuain tingkat kesulitan materi pengajaran dengan kemampuan yang dimiliki oleh peserta didik. Materi yang disajikan dalam bentuk-betuk latihan yang akan diberikan harus dapat meransang kemampuandan keterampilan motorik didik untuk mengalami peningkatan kualitas kemampuan dan keterampilan motorik yang telah mereka kuasai.
Aspek lain yang harus mendapatkan perhatian dari guru pendidikan jasmani adalah penekanan latihan. Penekanan latihan dalam proses pembelajaran pada fase belajar tingkat ketiga ini harus lebih diarahkan pada peningkatan kemampuan peserta didik bertujuan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk mendeteksi kesalahan-kesalahan gerakan yang terjadi pada pelaksanaan gerakan berlangsung.
Bentuk latihan lain yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran adalah latihan dalam bentuk mental training. Misalnya memberikan latihan untuk membangun kontustruksi-konstruksi gerakan atau menyusun program gerakan, atau latihan-latihan yang dapat mengarahkan pe4ningkatan kemampuan peserta didik dalam mengambil keputusan secara tepat dan cepat untuk mengatasi berbagai situasi yang bermasalah. Untuk memantapkan hasil yang diperoleh dari latihan mental training diberikan beberapa kali, lalu dilanjutkan dengan latihan-latihan pelaksanaan sesuai dengan program gerakan. Latihan mental ini akan lebih bermanfaat lagi bila latihan diarahkan pada perhitungan kecepatan bagian gerakan yaitu:

- Kemampuan mengantisipasi perubahan situasi yang akan terjadi dan efek dari perubahan tersebut.
- Kempuan ketepatan gerakan.
- Kemampuan melaksanakan gerakan secara ekonomis, baik dari segi waktu, tenaga maupun ruang yang terpakai.
- Kemampuan pengambilan keputusan dengan cepat
Proses pembelajaran adalah prinsip penyelenggaraan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Pembelajaran cbsa pendidikan jasmani di sekolah guru masih dominan dalam pengambilan keputusan baik dalam menentukan bentuk-bentuk proses intekrasi yang terjadi maupun dalam didalam menetukan skenario proses penbelajaran itu sendiri. Selain itu ada juga guru pendidikan jasmani yang terlalu luas dalam menerjemahkan atau mengambil pengertian tentang prinsip CBSA. Ini sering membiarkan peserta didiknya dalam penyelenggaraan pengajaran pendidikan jasmani melakukan apa saja yang di inginkan mereka.
Pada prinsip CBSA menuntut keaktifan guru dan murid dalam proses pembelajaran. Tugas guru dalam penyelenggaraan CBSA adalah memikirkan, menganalisis situasi dan kondisi proses pembelajaran untuk mengarahkan atau memungkinkan peserta didik terlibat aktif dalam proses pembelajaran.




Pendukung guru dalam pembelajaran CBSA antara lain:

 Bergerak, berlari, melompat, berkejar-kejaran sudah merupakan kebutuhan alami para peserta didik.
 Situasi pengajaran pendidikan jasmani tidak sama dengan bidang study yang lain.
 Hal yang disajikan dapat meransang stimulus terhadap peserta didik untuk bergerak.
 Mengajak peserta didik untuk bersipat sportif.
 Menimbulkan semangat, melalui psikis yang dimilikinya.








MODEL INKLUSI DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN JASMANI
Ditulis oleh Cucu Hidayat
Cucu Hidayat, Drs., M.Pd. adalah dosen Kopertis Wilayah IV yang dipekerjakan pada Program Studi Pendidikan
Olah Raga Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Siliwangi Tasikmalaya. Abstract: The purpose of the
research is to find out the effects of teaching style and student attitude toward the physical education learning outcome.
The research was conducted to the students at the eigth Secondary School Tasikmalaya, in period of 2007/2008 with
samples 40 students of the seventh grade selected randomly. The result of the research conclusion that there are: (1)
The students physical education learning outcome by using inclution teaching style is better than those by practice
teaching style (2) The students who have positif attitude, and used inclution teaching style is better than those using
practice teaching style of physical education learning outcome (3) The students who have negative attitude, and used
practice teaching style is better than those using inclution teaching style of physical education laarning outcome (4)
There is an interaction between teaching style and student attitude toward of students physical education learning
outcome. So the students physical education learning outcome who have positif attitude can be improved by using
inclution teaching style. Keywords: inclution teaching style, practice teaching style
A. Pendahuluan 1. Latar Belakang Masalah Pendidikan jasmani merupakan bagian integral dari pendidikan
keseluruhan, yang bertujuan untuk mengembangkan individu secara organik, neuromuskuler, intelektual dan emosional.
Dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani, pertumbuhan dan perkembangan intelektual, sosial dan emoslonal
anak sebagian besar terjadi melalui aktivitas gerak atau motorik yang dilakukan anak. Pendidikan jasmani menekankan
aspek pendidikan yang bersifat menyeluruh antara lain kesehatan, kebugaran jasmani, keterampilan berfikir kritis,
stabilitas emosional, keterampilan sosial, penalaran dan tindakan moral, yang merupakan tujuan pendidikan pada
umumnya. Atau secara spesifik melalui pembelajaran pendidikan jasmani, siswa melakukan kegiatan berupa permainan
(game), dan berolahraga yang disesuaikan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak. Meskipun demikian unsur
prestasi dan kompetisi juga terdapat di dalamnya dan dimanfaatkan sebagai alat pendidikan. Sedangkan tujuan
pendidikan jasmani di Sekolah Menengah Pertama (SMP), meliputi aspek-aspek sebagai berikut. (1) mengembangkan
kepribadian yang kuat, mengembangkan sikap cinta damai, mengembangkan sikap sosial dan mengembangkan sikap
toleransi dalam kontek kemajemukan budaya, etnis dan agama. (2) Mengembangkan sikap sportif, sikap jujur, sikap
disiplin, sikap bertanggung jawab, sikap kerja sama, sikap percaya diri, dan melatih demokrasi melalui aktivitas jasmani,
melalui aktivitas permainan, dan melalui aktivitas olahraga. (3) Mengembangkan keterampilan-keterampilan gerak dan
keterampilan berbagai macam permainan dan olahraga (aktivitas luar sekolah atau alam bebas). (4) Mengembangkan
keterampilan pengelolaan diri untuk mengembangkan dan memelihara kebugaran melalui aktivitas jasmani dan
olahraga. (5) Mengembangkan keterampilan untuk menjaga keselamatan diri sendiri dan mengembangkan keterampilan
untuk menjaga keselamatan orang lain atau lingkungannya. (6) Mengetahui dan memahami konsep aktivitas jasmani
dan olahraga sebagai informasi untuk mencapai kesehatan, untuk memelihara kebugaran, dan membiasakan pola hidup
sehat. Dan (7) Mampu memanfaatkan waktu luang dengan aktivitas jasmani yang bersifat rekreatif. Berdasarkan tujuan
pendidikan jasmani di atas, maka Skolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), merupakan tempat mengembangkan dan
membina anak-anak yang sedang tumbuh dan berkembang, serta tempat pembelajaran keterampilan gerak cabang
olahraga secara harmonis. Karena masa anak-anak merupakan masa yang sangat penting untuk memperbaiki dan
menyelaraskan gerakan-gerakan mendasar, sehingga untuk pengembangan keterampiIan olahraga selanjutnya mereka
tidak mengalami hambatan yang berarti ketika mempelajari keterampilan motorik pada tingkat yang lebih sulit. Sejalan
dengan tujuan pendidikan jasmani di atas, maka pendidikan jasmani merupakan suatu sarana pendidikan yang
bertujuan mengembangkan kepribadian siswa dalam rangka pembentukan manusia seutuhnya dan pelaksanaan
pendidikan jasmani tersebut berhubungan erat dengan usaha-usaha pendidikan yang teratur, terencana dan
berkelanjutan dimulai dari jenjang sekolah dasar sampai Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Tujuan pelaksanaan
pendidikan jasmani di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), apabila dilihat dari perkembangan gerak anak, maka
tujuan pelaksanaan pendidikan jasmani mengarah pada proses berlangsungnya gerakan. Sehubungan dengan tujuan
pendidikan jasmani tersebut di atas, maka titik berat tujuan pendidikan jasmani di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
terletak pada proses jalannya gerakan. Sehingga hasil pembelajarannya dapat diukur dengan menilai hasil unjuk kerja
anak saat mempelajari gerakan. Hal ini berarti bahwa hasiI pembelajaran siswa dalam pendidikan jasmani yang
berhubungan dengan keterampilan olahraga dapat dinilai dengan kebenaran gerak. Adapun ruang lingkup mata
pembelajaran Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) berdasarkan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dijabarkan melalui lembar kerja
siswa pada kelas VII pada semester satu meliputi aspek-aspek sebagai berikut: (1) aktivitas permainan dan cabang
olahraga sepak bola, (2) aktivitas permainan dan cabang olahraga atletik, (3) aktivitas permainan dan cabang olahraga
pilihan, (4) aktivitas pengembangan cabang olahraga senam, (5) aktivitas cabang olahraga uji diri (cabang olahraga
senam lantai), (6) aktivitas ritmik (senam kesegaran jasmani 2000), (7) aktivitas cabang olahraga air (renang), dan (8)
aktivitas luar sekolah (out door education), (a) orientasi lingkungan olahraga dan (b) orientasi lingkungan rekreasi ).
Dalam upaya mencapai hasil belajar yang baik, dalam pembelajaran pendidikan jasmani, dan khususnya pembelajaran
teknik gerakan lompat tinggi gaya straddle, maka guru pendidikan jasmani perlu mengupayakan model pembelajaran
yang efektif dan atraktif. Untuk itu guru pendidikan jasmani harus berusaha seoptimal mungkin untuk mempengaruhi
siswa dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani, yaitu dengan cara menyajikan bentuk-bentuk pembelajaran
keterampilan gerak yang baik dan benar, agar dapat mendorong siswa untuk memahami, mengerti, dan mampu
melakukannya. Peran guru dalam proses pendidikan jasmani di antaranya adalah menentukan dan memilih gaya
pembelajaran yang tepat dan efektif agar siswa dapat mengerti dan memahami materi pembelajaran yang disajikan
sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Kemampuan guru memilih dan menyajikan materi pembelajaran ditentukan olen
EDUCARE: Jurnal Pendidikan dan Budaya
http://educare.e-fkipunla.net
Generated: 8 February, 2009, 13:05
________________________________________
Page 2
kemampuan dan pengalamannya dalam pembelajaran. Sehubungan dengan itu, maka untuk melakukan proses
pembelajaran pendidikan jasmani, dipilih gaya pembelajaran yang tepat dan mudah diterapkan kepada siswa, sehingga
berbagai aktivitas gerak pendidikan jasmani dapat dikuasai dengan baik dan benar. Gaya pembelajaran tersebut adalah
gaya pembelajaran inklusi dan gaya pembelajaran latihan yang khusus hanya digunakan dalam pembelajarankan
peraktek pendidikan jasmani. Gaya pembelajaran inklusi dan gaya pembelajaran latihan merupakan dua gaya
pembelajaran yang jarang dipergunakan oleh guru, dalam praktek pembelajaran pendiddikan jasmani di Sekolah
Menengah Pertama (SMP). Padahal gaya pembelajaran ini sangat cocok diterapkan pada siswa SMP yang menuntut
perkembangan kreativitas, fisik dan mental yang optimal. Gaya pembelajaran inklusi, adalah suatu gaya pembelajaran
yang digunakan oleh guru, dengan cara menyajikan materi pembelajaran secara rinci dan menawarkan tingkat-tingkat
kesulitan yang berbeda secara berurutan, yang bertujuan agar siswa kreatif dan mendapatkan kemudahan dalam
mempelajari suatu keterampilan gerak, juga siswa diberi kebebasan untuk memilih dan menentukan pada tingkat
kesulitan mana? untuk memulai belajar suatu gerakan. Serta diberi kebebasan dan keleluasaan pula untuk menentukan
berapa kali siswa harus mengulangi gerakan, dalam mempelajari suatu teknik gerakan dalam setiap pertemuan.
Sedangkan gaya pembelajaran latihan adalah merupakan suatu gaya pembelajaran yang dapat digunakan untuk
meningkatkan kemampuan dan keterampilan siswa terhadap bentuk gerak. Dengan cara memberi tugas untuk
melakukan latihan sebanyak-banyaknya dengan cara mengulang-ulang, sehingga terjadi peningkatan dalam
mempelajari suatu teknik gerakan. Efisiensi dan efektivitas pembelajaran pendidikan jasmani juga terkait dengan
masalah konsep diri, motivasi, sikap, minat, dan aktivitas belajar siswa. Seorang siswa yang telah meraih keberhasilan
belajar secara dini dan cepat akan lebih terpacu dan menyenangi kegiatannya daripada seorang siswa yang belajar
lama apalagi tidak berhasil. Pengalaman gagal menyebabkan seorang siswa cenderung akan menghindari dan tidak
menyenangi kegiatan belajarnya. Oleh karena itulah untuk mengakomodir adanya perbedaan individual pada diri siswa,
dimasukkan sikap siswa terhadap pembelajaran pendidikan jasmani sebagai variabel atribut dalam penelitian ini. 2.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai
berikut: a. Secara keseluruhan, apakah terdapat perbedaan hasil belajar pendidikan jasmani antara kelompok siswa
yang menggunakan gaya pembelajaran inklusi dengan kelompok siswa yang menggunakan gaya pembelajaran latihan ?
b. Bagi siswa yang memiliki sikap positif terhadap pendidikan jasmani, apakah terdapat perbedaan hasil belajar
pendidikan jasmani antara kelompok siswa yang menggunakan gaya pembelajaran inklusi dengan kelompok siswa yang
menggunakan gaya pembelajaran latihan? c. Bagi siswa yang memiliki sikap negatif terhadap pendidikan jasmani,
apakah terdapat perbedaan hasil belajar pendidikan jasmani antara kelompok siswa yang menggunakan gaya
pembelajaran inklusi dengan kelompok siswa yang menggunakan gaya pembelajaran latihan? d. Apakah terdapat
pengaruh interaksi antara gaya pembelajaran dan sikap terhadap hasil belajar pendidikan jasmani?
3. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh gaya pembelajaran dan sikap
siswa terhadap pendidikan jasmani terhadap hasil belajar pendidikan jasmani siswa Sekolah Menengah Pertama.
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: a. perbedaan hasil belajar pendidikan jasmani antara
kelompok siswa yang menggunakan gaya pembelajaran inklusi dengan kelompok siswa yang menggunakan gaya
pembelajaran latihan, secara keseluruhan? b. perbedaan hasil belajar pendidikan jasmani antara kelompok siswa yang
menggunakan gaya pembelajaran inklusi dengan kelompok siswa yang menggunakan gaya pembelajaran latihan, bagi
siswa yang memiliki sikap positif terhadap pendidikan jasmani? c. perbedaan hasil belajar pendidikan jasmani antara
kelompok siswa yang menggunakan gaya pembelajaran inklusi dengan kelompok siswa yang menggunakan gaya
pembelajaran latihan bagi siswa yang memiliki bagi siswa yang memiliki sikap negatif terhadap pendidikan jasmani? d.
pengaruh interaksi antara gaya pembelajaran dan sikap siswa terhadap hasil belajar pendidikan jasmani? 4. Kegunaan
Penelitian a. Hasil penelitian yang diperoleh berguna sebagai bahan pertimbangan dalam pengembangan peningkatan
kualitas pembelajaran pendidikan jasmani. b. Bagi Para Guru Pendidikan Jasmani, hasil penelitian ini dapat dijadikan
alternatif pilihan cara pembelajaran pendidikan jasmani yang efektif dan efisien. c. Bagi Pengembangan kurikulum, hasil
penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan untuk menyempurnakan kurikulum pendidikan jasmani yang sudah ada.
B. Metodologi Penelitian 1. Metode dan Disain Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
eksperimen dengan rancangan (disain) faktorial 2X2. Sebagai variabel terikat dalam penelitian ini adalah hasil belajar
pendidikan jasmani. Variabel bebas pertama sebagai perlakuan (Variabel eksperimen) adalah gaya pembelajaran, yaitu
gaya pembelajaran inklusi sebagai eksperimen dan gaya pembelajaran latihan sebagai kontrol. Variabel bebas kedua
sebagai atribut adalah sikap siswa terhadap pendidikan jasmani, yang dibedakan menjadi sikap yang positif, dan sikap
negatif. 2. Populasi dan Sampel Populasi target dalam penelitian ini adalah seluruh siswa Sekolah Menengah
Pertama (SMPN 8) Kota Tasikmalaya Jawa Barat. Sedangkan populasi terjangkau adalah seluruh siswa putera kelas
tujuh tahun ajaran 2007/2008 sebanyak 128 orang. Teknik pengambilan sampel dilakukan melalui tahap-tahap sebagai
berikut: Pertama, menentukan populasi terjangkau, yaitu siswa putera kelas tujuh Sekolah Menengah Pertama (SMPN 8)
Kota Tasikmalaya Jawa Barat. sebanyak 128 orang. Kedua, secara random mengambil sampel sebanyak 80 orang
siswa putera kelas tujuh Sekolah Menengah Pertama (SMPN 8) Kota Tasikmalaya dari kerangka sampel (sampling
frame). Ketiga, dari 80 orang siswa tersebut dibagi dua kelompok dengan cara dirandom untuk ditempatkan pada
kelompok siswa yang diajar dengan gaya pembelajaran inklusi dan kelompok siswa yang diajar dengan gaya
pembelajaran latihan, sehingga masing-masing kelompok terdiri dari 40 orang. Keempat, setelah diberi perlakuan
kepada masing-masing kelompok kemudian diberikan tes motivasi berprestasi. Hasilnya, dari masing-masing kelompok
kemudian diranking mulai dari skor terbesar sampai yang terkecil, untuk menentukan kelompok siswa yang memiliki
kategori motivasi berprestasi tinggi dan rendah. Atas dasar hasil tes tersebut, diperoleh jumlah subjek dari masing-
masing kelompok sebanyak 20 orang, yakni 27 % sebagai kelompok atas, yang dikategorikan sebagai siswa yang
memiliki motivasi berprestasi tinggi masing-masing sebanyak 10 orang (27% dari 40 = 10,8 diambil 10 orang), dan 27 %
sebagai kelompok bawah, yang dapat dikategorikan sebagai siswa yang memiliki motivasi berprestasi rendah juga
EDUCARE: Jurnal Pendidikan dan Budaya
http://educare.e-fkipunla.net
Generated: 8 February, 2009, 13:05
________________________________________
Page 3
masing-masing sebanyak 10 orang (27% dari 38 = 10,8 diambil 10 orang), sehingga secara keseluruhan jumlah subjek
yang terlibat dalam penelitian ini adalah berjumlah 40 orang yang tergabung dalam empat kelompok perlakuan. Bagi
subjek yang skor sikapnya berada di antara kedua kategori tersebut tetap diikutsertakan dalam penelitian. Kelima,
menempatkan sampel yang terpilih berdasarkan sikapnya, sehingga terbentuk kelompok A1 (kelompok yang diajar
dengan menggunakan gaya pembelajaran inklusi) dan kelompok A2 (kelompok yang diajar dengan menggunakan gaya
pembelajaran latihan). 3. Teknik Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis
varians (ANAVA) dua jalur, dan diuji lanjut dengan menggunakan uji Tukey, setelah terlebih dahulu dilakukan uji
persyaratan analisis varians (ANAVA), yakni uji normalitas dan uji homogenitas. Uji normalitas dilakukan dengan
menggunakan uji Lilliefors dengan taraf signifikansi α = 0,05. Sedangkan untuk uji homogenitas dilakukan dengan
menggunakan uji Bartllet dengan taraf signifikansi α = 0,05. C. Pembahasan Hasil Penelitian Hasil pengujian
hipotesis pertama menunjukan bahwa, secara keseluruhan terdapat perbedaan hasil belajar pendidikan jasmani yang
berarti antara kelompok siswa yang menggunakan gaya pembelajaran inklusi dengan kelompok siswa yang
menggunakan gaya pembelajaran latihan. Gaya pembelajaran inklusi memberikan pengaruh lebih baik dibandingkan
dengan gaya pembelajaran latihan terhadap hasil belajar pendidikan jasmani siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP)
Kelas VII (tujuh). Pembelajaran pendidikan jasmani menggunakan gaya pembelajaran inklusi memberikan lebih banyak
kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kemampuan sesuai potensi masing-masing individu. Setiap individu
diberi kebebasan menentukan kegiatan belajar dalam hal memulai pembelajaran, pelaksanaan melakukan tugas-tugas
gerak, penilaian hingga menentukan target kegiatan belajar berikutnya, sehingga akan membangkitkan motivasi dan
merangsang kreativitas siswa. Di samping itu peran guru tidak terlalu dominan, karena guru tidak langsung menuntun
siswa seperti yang dilakukan dalam gaya pembelajaran latihan. Sedangkan dalam gaya pembelajaran latihan siswa
dilatih berbagai keterampilan, tahap demi tahap atau bagian demi bagian (tidak langsung pada sasaran), sehingga peran
guru di sini sangat dominan, karena harus memberi contoh, di samping itu suasana pembelajaran atau suasana berlatih
juga monoton serta kurang variatif sehingga ada kecenderungan membosankan, sehingga pada akhirnya hasil belajar
pendidikan jasmani yang diharapkan kurang maksimal. Hasil pengujian hipotesis kedua menyimpulkan bahwa terdapat
perbedaan hasil belajar pendidikan jasmani yang berarti, antara kelompok siswa yang menggunakan gaya pembelajaran
inklusi dan kelompok siswa yang menggunakan gaya pembelajaran latihan, bagi kelompok siswa yang memiliki sikap
positif. Gaya pembelajaran inklusi memberikan pengaruh lebih baik dibandingkan dengan kelompok siswa yang
menggunakan gaya pembelajaran latihan terhadap hasil belajar pendidikan jasmani. Pembelajaran pendidikan jasmani
dengan menggunakan gaya pembelajaran inklusi, dilakukan dengan memberi kebebasan kepada siswa untuk
melakukan kegiatan belajarnya secara mandiri, dari mulai menentukan awal kegiatan belajar, pelaksanaan belajar
hingga penilaian kemajuan belajar serta menentukan kegiatan belajar berikutnya. Hal ini memungkinkan manakala siswa
memiliki sikap yang positif terhadap pembelajaran pendidikan jasmani. Sikap positif siswa terhadap pembelajaran
pendidikan jasmani biasanya diiringi kesediaan siswa untuk merespon setiap rangsang yang disediakan guru. Dengan
demikian siswa akan senantiasa melakukan kegiatan belajar secara aktif walau tanpa diawasi secara ketat oleh guru.
Kondisi ini akan terjadi sebaliknya bila siswa memiliki sikap yang negatif terhadap pembelajaran pendidikan jasmani,
yang biasanya ditandai dengan sikap tak acuh siswa terhadap program yang ditawarkan guru. Kurangnya pengawasan
guru, arahan dan bimbingan yang dilakukan secara ketat akan mengakibatkan siswa tidak bergairah dan malas belajar.
Sedangkan hasil pengujian hipotesis ketiga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang berarti hasil belajar
pendidikan jasmani siswa antara yang menggunakan gaya pembelajaran inklusi dan yang menggunakan gaya
pembelajaran latihan, bagi kelompok siswa yang memilik sikap negatif. Kelompok siswa yang menggunakan gaya
pembelajaran latihan lebih baik dari pada kelompok siswa yang menggunakan gaya pembelajaran inklusi, bagi siswa
yang memiliki sikap negatif. Gaya pembelajaran latihan menuntut guru lebih aktif, baik dalam hal menentukan kegiatan
awal belajar siswa, mengontrol secara ketat pelaksanaan tugas gerak siswa, menilai hasil belajar siswa, serta
menentukan kegiatan belajar siswa berikutnya. Dengan demikian bagi siswa yang memiliki sikap negatif gaya
pembelajaran sepertiini lebih cocok karena siswa dipaksa untuk berbuat dan berperilaku sesuai dengan kehendak guru.
Sebaliknya bagi siswa yang memiliki sikap positif pengawasan yang terlalu ketat cenderung menghambat terhadap
kreativitas dan kemajuan belajarnya. Maka dengan demikian gaya pembelajaran latihan kurang diminati oleh siswa yang
memiliki sikap yang positif, akan tetapi dianggap cocok bagi siswa yang memiliki sikap negatif. Atau dengan kata lain,
gaya pembelajaran latihan lebih cocok digunakan dalam pembelajaran pendidikan jasmani bagi siswa yang memiliki
sikap negatif dari pada menggunakan gaya pembelajaran inklusi. Hasil pengujian hipotesis keempat melalui analisis
varians (ANAVA) diperoleh hasil, bahwa terdapat pengaruh interaksi antara gaya pembelajaran dengan sikap siswa
terhadap hasil belajar pendidikan jasmani siswa SMP kelas tujuh. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa hasil
belajar pendidikan jasmani, selain dipengaruhi oleh gaya pembelajaran yang digunakan, juga dipengaruhi oleh kontribusi
faktor internal siswa seperti sikap siswa terhadap,pembelajaran pendidikan jasmani. Interaksi keduanya dapat dilihat
dari pelaksanaan gaya pembelajaran yang melibatkan komponen fisik, teknik, taktik dan mental di dalam
pelaksanaannya. Aspek fisik dan teknik digunakan di dalam melaksanakan berbagai aktivitas gerak dalam pendidikan
jasmani. Sedangkan aspek mental dipergunakan untuk menjaga motivasi dalam pembelajaran. Dari hasil penelitian
dapat disimpulkan bahwa tidak ada satupun gaya pembelajaran yang cocok untuk digunakan dalam berbagai situasi dan
kondisi. Dalam aplikasinya, gaya pembalajaran apapun yang digunakan, semua harus tetap mempertimbagkan kondisi-
kondisi tertentu, baik faktor internal maupun eksternal siswa untuk meningkatkan hasil belajar pendidikan jasmani. D.
Kesimpulan Berdasarkan temuan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan hasil penelitian sebagai berikut: Pertama,
secara keseluruhan hasil belajar pendidikan jasmani kelompok siswa yang menggunakan gaya pembelajaran ingklusi
lebih baik dari pada kelompok siswa yang menggunakan gaya pembelajaran latihan. Kedua, bagi siswa yang memiliki
sikap positif, hasil belajar pendidikan jasmani siswa yang menggunakan gaya pembelajaran inklusi lebih baik dari pada
yang menggunakan gaya pembelajaran latihan. Ketiga, bagi siswa yang memiliki sikap negatif, hasil belajar pendidikan






Fitts / Posner Belajar dari 3 tahapan dan Olahraga Panggilan Tes
10 November 2008
oleh Chad Englehart


Banyak atlet hari ini ada keinginan untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi dari athletics. Baik itu merupakan atlet pergi dari Tinggi ke Jr High School, atau membuat atlet peralihan dari sekolah ke perguruan tinggi dan besar athletics satu perguruan ke athletics profesional. Seluruh Amerika, ada mimpi atlet muda untuk bertanding di atas mereka olahraga; banyak mencoba hanya beberapa berhasil. Untuk bertanding di tingkat profesional yang diperlukan semua intangibles latihan, kerja keras, hati, keinginan, keahlian, kekuatan, kecepatan, dll, tetapi, salah satu yang paling penting adalah traits kata yang sederhana dan ia genetika. Beberapa atlet dapat mereka atas potensi genetik hanya menjalankan 4.97second 40 yard dash atau taburan mereka cepat bola di 78mph dan yang ok, tapi tanyakan pada diri Anda sebagai orang tua atau mantan atlet, saya max out my potensi? Kapan saya mulai benar-benar pelatihan dan pendidikan yang saya pelatih mengenai bagaimana dan mengapa? Apakah saya pelatih mengajarkan saya cara yang tepat untuk melatih dan melaksanakan tugas-tugas yang berbeda, drills, atau ujian? Seperti banyak dari hari ini kekuatan dan kecepatan spesialis, kami telah mendengar dari semua NFL Combine berbeda dan menggabungkan dilaksanakan di seluruh bangsa yang tes yang atletis dengan kemampuan atlet. Salah satu pertanyaan di sepak bola adalah cara yang cepat atlet dari 40 yard dash adalah, dalam baseball adalah cara yang cepat atlet dapat menjalankan 30 atau 60 yard dash. Beberapa atlet yang lahir dengan tidak dapat menjalankan kedua 4,23 atau 40 yard dash berbakat hadiah lainnya seperti yang dapat mengadakan baseball 98mph hanya 18 tahun, tetapi bagaimana dengan atlet yang tidak diberkati dengan kemampuan dan genetika. I am a kecepatan dan kekuatan profesional dan saya akan memberitahu Anda hal-hal ini dapat diajarkan. Dalam teori, setiap atlet dapat melatih dan menjalankan 4,2 detik atau 40 yard dash melemparkan 98mph NO tetapi jika coached baik dan jika seorang atlet mulai awal cukup dalam kehidupan mereka ke program tubuh mereka maka mereka bisa mendapatkan yang terbaik dari mereka genetic make-up. Dalam sebuah atlet dari kehidupan mereka akan waktunya oleh pandu atau pelatih untuk melihat bagaimana cepat mereka. Perlu diketahui, hal ini tidak memberitahu coaches pramuka atau bagaimana atlet yang berbakat pada olahraga tertentu, tetapi mereka hanya kecepatan. Oleh karena itu, ini adalah ujian dan harus diperlakukan seperti ujian yang berarti telah dididik dan belajar untuk ujian. Ini membawa saya ke Fitts dan Posner Tiga Tahap-model pembelajaran yang motor keterampilan.
Paul Fitts dan Michael Posner disajikan tiga tahap model pembelajaran pada tahun 1967 dan sampai hari ini dianggap berlaku di dunia motor belajar. Tahap pertama disebut tahap kognitif belajar adalah ketika pemula berfokus pada masalah cognitively berorientasi (Magill 265). Ini adalah saat pemula mencoba untuk menjawab pertanyaan seperti: Apa tujuan dari 40 halaman sprint? Dimana saya harus berada pada sisi garis datang dari tiga titik sudut? Bagaimana dan dimana saya tempat kaki saya? Bagaimana beban didistribusikan? Ada banyak pertanyaan yang seorang atlet ketika mereka telah terlebih dahulu mencoba untuk mempelajari tiga titik sikap untuk 40 yard dash. Dan yang mengejutkan atlet yang lama, maka ia sulit untuk mengajar yang benar dari mekanik dimulai. Hal ini karena mereka telah melakukannya dengan cara sebagian besar mereka hidup. Ingat lebih mudah untuk mengajar baru dari kebiasaan untuk mencoba untuk memperbaiki kebiasaan buruk. Fitts dan Posner menjelaskan peserta didik harus terlibat dalam kegiatan kognitif sebagai ia mendengarkan petunjuk dan menerima umpan balik dari instruktur (Magill 265). Tentu saja pada tahap pertama yang learner atau atlet yang akan membuat banyak kesalahan dan kesalahan yang membuat mereka memiliki kecenderungan untuk menjadi besar. Para peserta didik atau atlet dalam tahap ini adalah sadar konyol. Ini adalah saat atlet menyadari bahwa mereka tidak terampil sebagai mungkin mereka berpikir bahwa mereka atau pemikiran mereka dapat. Salah satu cara untuk membantu atlet ini melalui tahap pertama dan menunjukkan kesalahan mereka adalah melalui video analisis. Dari pengalaman, setelah peserta didik atau atlet dapat menonton mereka kesalahan mereka cenderung benar mereka di tingkat yang lebih cepat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar